Posted by: Black_Claw | March 6, 2016

Menunggu Gerhana

“Ais, mai.” Ujar saya ke adik angkat saya dari ruang tengah. Dia, bapak, dan ibu saya, tengah duduk menonton TV di ruangan sebelah. “Kalau kamu lihat gerhana nanti langsung, kamu bisa buta. Jadi, jangan mendongak ke matahari tanggal sembilan nanti.”

Secara adik angkat saya masih SD, saya khawatir dia nggak sengaja ngeliat matahari karena saat terjadinya gerhana nanti masih pagi. Jam sekolah.

“Iya. Jadi nanti selama gerhana harus tutup mata?” tanyanya.

“Ti ja ni, loa tio, boleh lihat, asal nggak dilihat langsung. Lihat bayangan di air, misalnya. Kamu jalan buka mata saat gerhana juga nggak apa-apa, asal nggak ngeliat ke mataharinya.” saya menjelaskan. Sungguh, akan aneh jika saat gerhana nanti dia malah kosple jadi Si Buta Dari Gua Hantu.

Bapak saya yang sedari tadi nguap-nguap bosen nonton TV angkat bicara.

“Hih, au kai. Nanti pas gerhana, mending tidur saja. Bangun subuh, makan yang banyak, terus tidur sampai siang. Males pake acara buta segala.” katanya.

“350 tahun sekali, loh. Sayang kalau ditinggal tidur.” Saya mengomentari.

“Nggak penting. Emangnya ngasih duit.” Bapak saya menimpal balik, masih dengan suara ogah-ogahan. “Lain halnya kalau abis gerhana itu ada pengumuman. Misalnya, Pak Dedi selesai gerhana dipersilahkan untuk agar supaya menghadap daripada pak presiden Jokowi untuk menerima daripada duit. Nah, itu baru layak nungguin gerhana.”

Saya, adik, dan ibu saya yang sedari tadi hanya diam, tertawa mendengar ucapannya.

“Tapi kenapa di TV itu rame banyak orang yang nungguin gerhana matahari?” Adik saya bertanya.

Sembari melihat Titiek Puspa yang nyanyi di TV, bapak saya dengan cueknya berujar.

“Mungkin di gerhana itu ada foto bapak mereka.”


Responses

  1. huwaakakaakakak

    Like


Leave a comment

Categories