Apa Yang Tidak Saya Makan

“Ayam, bebek, ikan mas, udang, apa lagi? Banyak bener yang nggak lu makan, Blek. Agama lu apa sih?” Ucap teman saya, yang tampaknya merasa salah pilih masuk rumah makan. Mungkin dia nggak biasa makan di warung sea food siang-siang.

Untuk daging hewan, saya memang menjauhi beberapa. Misalnya ayam potong. Saya merasa aneh memakan daging ayam yang seumur hidupnya dikurung di kandang kecil, dibikin gemuk hingga bahkan kakinya tidak bisa dipakai berjalan. Kasihan.

Tapi kalau ayam kampung, yang bebas lepas bahagia itu, tentu saya tidak merasa aneh memakannya. Tidak perlu repot. Saya akan tangkap sendiri, penggal sendiri, nyabutin bulunya sendiri, masak sendiri. Oh, dan makan sendiri. Bisa sambil ketawa, malah.

Hal yang sama juga berlaku untuk ikan budidaya. Belut yang dipelihara pake gentong-gentong itu, misalnya. Ngeliat mayatnya yang kegemukan saja bikin saya sedih. Nah, kalau yang di sawah lain soal. Saya ngepetin sendiri. Tebas pake golok kalau perlu.

Nah, kalau hewan crustacea macam kepiting dan udang, saya hanya makan yang dimasak oleh ibu saya atau saya sendiri. Saya alergi dengan hewan-hewan tersebut, jadi, masaknya harus dicampur arang. Kalau nggak? Walah, sengsara. Kulit panas dan gatal-gatal.

Khusus untuk bebek, mau liar sekalipun, akan saya jauhi. Kalau untuk yang ini, alasannya sih karena saya suka sama Paman Gober, Scrooge McDuck. Kayaknya gegara kebanyakan baca karya-karyanya Don Rosa.

Tapi itu kepanjangan buat diomongin. Jadi, saya muter omongan saja.

“Nanti dulu mikir hubungan agama dan makanan saya, kawan. Kamu masih pake perjanjian lama, kan? Ini haram buat kamu, lo…” Balas saya sembari menjauhkan piring berisi cumi goreng tepung darinya, yang segera direbutnya kembali sambil misuh-misuh. Saya tertawa, kemudian melanjutkan.

“Di agama saya, saya bisa makan apa saja jika terpaksa. Apapun. Komodo juga jadi halal. Paling cuma satu yang haram.”

Dia berhenti mengunyah.

“Kamu teman saya. Terpaksapun, saya nggak makan kamu.”