Posted by: Black_Claw | August 22, 2017

Filosofi Koloke

Ini namanya Koloke. Nugget ayam tradisional yang disiram kuah asam manis. Ke itu bahasa Hokkian, yang artinya Ayam. Kalau daging, bak. Jadi, kalau kolobak, itu nugget campuran dagingnya. Campuran gu yang berarti sapi, tu kalau babi, dan kadang kalau spesial ada udangnya juga. Kalau orang yang bikin dari suku Khek, bak ini jadi nyuk. Makanya, saat zaman VOC, makanan ini dibawa sampe ke belanda dengan nama Koeloenjoek, soalnya migrasi besar-besaran orang Khek ke Indonesia itu saat zaman meneer-meneeran. Nah, karena nyuk itu berarti daging seperti bak, untuk memperjelasnya, ditambahkanlah namanya menjadi Ayam Kuluyuk yang sekarang bisa ditemui di Jakarta.

Yang membuat masakan ini beda dan enak, adalah saus asam manis yang disiram ke gumpalan-gumpalan daging goreng garingnya. Puncak kesempurnaannya, adalah saat tukang masaknya menjejakkan kaki di ranah Malaya, Nusantara, atas dasar alasan yang sederhana.

Di Cina, dapat buah Nenas buat bahan utama saus asam manis yang asem-asem seger itu susah.

Bikin Koloke, yang enak, yang beneran Koloke, itu susah dan lama. Potongan daging ayamnya harus tebal sehingga daginya empuk, tapi luarnya harus garing. Harus ditambahkan kanji. Apinya harus kecil hingga matang sampai ke dalam, dan menggorengnya harus benar-benar terendam minyak, supaya warnanya kuning keemasan.

Saya berlebihan? Tidak.

Biasanya, manusia tidak pernah puas dengan hal apapun. Mereka akan menuntut lebih. Kecuali makanan, itu berbeda. Jika perut seseorang kenyang, ia akan berkata cukup. Siapapun bisa mengenyangkan orang lain, tapi, mereka yang makan juga harus terpuaskan secara batin. Kemampuan itulah yang menjadikan seorang tukang masak yang hebat. Sedikit cinta haruslah bisa ia tambahkan dalam hidangannya. Maka, saat ia bisa melakukannya, sesaat sebelum rasa kenyang itu muncul, waktu seakan berhenti… Dan masa mengulang kembali.


Leave a comment

Categories